Hak Cipta AI di Indonesia: Studi Kasus 'Tung Tung Tung Sahur' dan Urgensi Reformasi Hukum
Sumber: Generate Chat GPT
Pendahuluan: Ketika Kecerdasan Buatan Bertemu Kreativitas dan Hukum
Pesatnya laju inovasi Kecerdasan
Buatan (AI) telah mengubah wajah industri kreatif secara fundamental. AI kini
mampu menghasilkan karya-karya kompleks seperti teks, gambar, musik, dan
desain, bahkan dengan intervensi manusia yang minimal. Kemampuan AI generatif
ini memicu perdebatan sengit mengenai kepengarangan, orisinalitas, dan
kepemilikan hak cipta atas karya-karya tersebut.
Komersialisasi karya hasil AI
menciptakan nilai ekonomi signifikan, namun juga menimbulkan kekhawatiran
serius terkait potensi plagiarisme dan persaingan tidak sehat. AI sering
dilatih menggunakan dataset masif berisi karya berhak cipta, yang dapat
menimbulkan masalah hukum jika tidak diatur jelas.
Dalam konteks ini, kasus
"Tung Tung Tung Sahur" menjadi studi kasus relevan yang menyoroti
urgensi permasalahan hak cipta AI di Indonesia. Suara khas "Tung Tung Tung
Sahur" yang viral di TikTok, kemudian diintegrasikan ke game populer Free
Fire sebagai bagian dari acara Ramadan. Kreator AI Anomali, Noxa, menyatakan
kekecewaannya karena Garena Free Fire diduga menggunakan desain AI yang ia
kembangkan tanpa izin atau atribusi layak, dan upaya komunikasinya tidak
direspons.
Insiden ini memicu perdebatan
publik dan hukum luas mengenai hak cipta karya AI, mengingat hukum hak cipta
Indonesia saat ini belum secara eksplisit mengatur kepemilikan atas karya yang
dihasilkan dengan bantuan kecerdasan buatan. Kasus "Tung Tung Tung
Sahur" ini berfungsi sebagai ujian nyata bagi relevansi Undang-Undang Hak
Cipta Indonesia dalam menghadapi inovasi teknologi AI, menyoroti urgensi
reformasi hukum dan pengembangan etika dalam penggunaan AI di industri kreatif.
Memahami Fondasi Hukum Hak Cipta di Indonesia
Undang-Undang Nomor 28 Tahun
2014 tentang Hak Cipta (UUHC) merupakan landasan hukum utama perlindungan hak
cipta di Indonesia, menggantikan UU No. 19 Tahun 2002 yang dianggap kurang
adaptif terhadap era digital. UUHC melindungi berbagai jenis karya, termasuk
sastra, seni, musik, film, dan perangkat lunak, asalkan bersifat orisinal.
Definisi "Pencipta" dan "Ciptaan":
Batasan Antroposentris
Menurut UUHC, Hak Cipta adalah
hak eksklusif pencipta yang timbul secara otomatis berdasarkan prinsip
deklaratif setelah suatu ciptaan diwujudkan dalam bentuk nyata. Artinya,
perlindungan hak cipta bersifat alamiah dan pendaftaran hanya berfungsi sebagai
pengakuan dari negara serta alat bukti yang kuat dalam sengketa.
Namun, inti permasalahan muncul
pada definisi "Pencipta". UUHC secara spesifik mendefinisikannya
sebagai "seseorang atau beberapa orang yang secara sendiri-sendiri atau
bersama-sama menghasilkan suatu ciptaan yang bersifat khas dan pribadi".
Definisi yang ketat ini secara inheren mengecualikan Artificial Intelligence
dari status sebagai pencipta yang sah. AI, sebagai entitas non-manusia atau
non-badan hukum, tidak dapat menjadi subjek hak cipta, meninggalkan karya-karya
yang dihasilkannya dalam "limbo" hukum tanpa pemilik yang diakui atau
dilindungi secara langsung.
Lebih lanjut,
"Ciptaan" merujuk pada setiap hasil karya ilmiah, seni, dan sastra
yang lahir dari "inspirasi, kemampuan, pikiran, imajinasi, ketangkasan,
keterampilan, atau keahlian yang diekspresikan dalam bentuk nyata". Frasa
ini secara jelas mengaitkan proses penciptaan dengan aktivitas intelektual
manusia. Meskipun AI mampu menghasilkan karya dalam bentuk nyata, atribut
seperti "inspirasi" atau "imajinasi" secara tradisional
dikaitkan dengan manusia, sehingga karya AI penuh sulit memenuhi kriteria ini.
Prinsip Orisinalitas: Sentuhan Manusia yang Tak Tergantikan
Agar suatu ciptaan memperoleh
perlindungan hak cipta di Indonesia, ia harus "asli" atau memiliki
nilai "keaslian" (orisinalitas), yang mengacu pada konsep penciptaan
yang mandiri (independent creation). Syarat orisinalitas dalam UUHC secara
implisit mensyaratkan adanya keterlibatan intelektual manusia, di mana ciptaan
harus bersifat "khas dan pribadi". Ini berarti bahwa hasil karya
harus diwujudkan secara nyata melalui proses intelektualitas dari manusia.
Pasal 6 UUHC bahkan menyebutkan bahwa informasi manajemen Hak Cipta digunakan
untuk memastikan dan mengidentifikasi keaslian substansi dari Pencipta, yang
membuktikan sifat khas, pribadi, dan orisinalitas suatu Ciptaan melalui proses
pembuatannya.
AI beroperasi berdasarkan
parameter dan algoritma yang diprogram oleh manusia, menganalisis dan mengubah
data atau karya yang sudah ada. Oleh karena itu, karya yang sepenuhnya
dihasilkan oleh AI umumnya tidak memenuhi kriteria orisinalitas manusia yang
diakui oleh hukum hak cipta di Indonesia. Penekanan kuat pada frasa "khas
dan pribadi" serta "inspirasi, kemampuan, pikiran, imajinasi"
sebagai syarat mutlak orisinalitas menciptakan batasan filosofis yang sulit
ditembus oleh karya yang dihasilkan sepenuhnya oleh AI. Hal ini menunjukkan
bahwa hukum hak cipta Indonesia masih sangat antroposentris, berakar pada
filosofi hak alami (Natural Right Theory) dan teori kepribadian (Personality
Theory) yang secara fundamental menganggap karya sebagai perpanjangan dari diri
dan upaya intelektual pencipta manusia.
Hak Moral dan Hak Ekonomi: Perlindungan Ganda Pencipta
Pencipta di Indonesia memiliki
dua jenis hak utama yang dilindungi oleh UUHC: hak moral dan hak ekonomi.
Hak Moral merupakan hak
yang melekat secara abadi pada diri pencipta dan tidak dapat dialihkan. Hak ini
melindungi nama baik dan integritas ciptaan, termasuk hak untuk tetap
mencantumkan atau tidak mencantumkan nama pada salinan ciptaan, menggunakan
nama alias, mengubah ciptaan sesuai kepatutan, mengubah judul, dan
mempertahankan haknya jika terjadi distorsi, mutilasi, atau modifikasi yang
merugikan kehormatan atau reputasi pencipta.
Hak Ekonomi memberikan
hak kepada pencipta untuk memanfaatkan karyanya secara finansial, seperti
melalui penjualan, lisensi, atau bentuk distribusi lainnya. Hak ini
memungkinkan pencipta untuk memperoleh manfaat ekonomi langsung dari
ciptaannya, termasuk royalti.
Pelanggaran hak cipta yang
melibatkan AI, khususnya dalam kasus remix lagu tanpa izin atau modifikasi
karya lainnya, secara langsung melanggar baik hak moral maupun hak ekonomi dari
pencipta asli. Kemudahan AI dalam memanipulasi dan mereproduksi karya
memungkinkan pelanggaran hak moral dan hak ekonomi. Ini menunjukkan bahwa
meskipun AI tidak diakui sebagai pencipta di bawah hukum yang berlaku,
dampaknya terhadap hak-hak pencipta manusia sangat nyata dan merugikan,
mengikis integritas artistik dan potensi pendapatan mereka.
Prinsip-prinsip Dasar Hak Kekayaan Intelektual: Keseimbangan
yang Terancam
Hak Kekayaan Intelektual (HKI) di Indonesia didasarkan pada empat prinsip utama :
- Prinsip Ekonomi: Hak intelektual berasal dari kegiatan kreatif manusia yang memiliki manfaat serta nilai ekonomi.
- Prinsip Keadilan: Perlindungan hukum bagi pemilik hasil kemampuan intelektual, memastikan mereka memiliki kekuasaan dalam penggunaan hak atas karyanya.
- Prinsip Kebudayaan: Bertujuan untuk pengembangan ilmu pengetahuan, sastra, dan seni guna meningkatkan taraf kehidupan dan peradaban manusia.
- Prinsip Sosial: Mengatur kepentingan manusia sebagai warga negara, menyeimbangkan kepentingan individu dan masyarakat dalam perlindungan hak cipta.
Ketidakjelasan status hak cipta
atas karya yang dihasilkan AI secara fundamental mengancam keempat prinsip
dasar HKI ini. Secara ekonomi, hal ini dapat mereduksi insentif bagi kreator
manusia dan menciptakan "free-riding" oleh AI. Secara keadilan, AI
dapat mengeksploitasi data dan karya tanpa atribusi atau imbalan layak. Secara
kebudayaan, hal ini berpotensi merusak integritas dan nilai seni asli. Dan
secara sosial, ketidakpastian hukum ini menciptakan ketidakseimbangan dan
potensi konflik yang merugikan ekosistem kreatif secara keseluruhan.
Sistem Delik Aduan: Tantangan Penegakan Hukum di Era AI
Undang-Undang Hak Cipta
Indonesia menganut prinsip "delik aduan" (complaint offense), yang
berarti tindak pidana pelanggaran hak cipta tidak dapat diproses atau dituntut
secara pidana kecuali ada pengaduan atau laporan dari pihak pemegang hak cipta
yang dirugikan. Implikasinya, karya yang dihasilkan atau dibantu oleh AI secara
teknis diizinkan untuk digunakan secara komersial selama tidak ada pihak yang
memiliki karya serupa sebelumnya yang mengajukan keluhan.
Meskipun sistem ini memberikan
kejelasan mengenai pihak yang dirugikan, ia membatasi kewenangan aparat penegak
hukum untuk bertindak langsung tanpa aduan resmi. Sifat "delik aduan"
dari UU Hak Cipta menjadi kelemahan signifikan dalam menghadapi pelanggaran hak
cipta yang masif, cepat, dan sulit dilacak yang difasilitasi oleh AI. Kecepatan
dan volume pelanggaran AI melampaui kapasitas individu untuk memantau dan
mengajukan aduan, menjadikan sistem hukum yang dirancang untuk era pra-digital
menjadi tidak efektif dalam lingkungan digital saat ini.
Landasan Teori Perlindungan Hak Kekayaan Intelektual: Konflik
dengan AI
Perlindungan Hak Kekayaan
Intelektual (HKI) didasarkan pada beberapa teori filosofis yang membentuk
kerangka hukumnya. Pemahaman terhadap teori-teori ini krusial untuk
menganalisis bagaimana hukum hak cipta Indonesia berinteraksi dengan fenomena
karya yang dihasilkan oleh AI.
Teori Hak Alamiah (Natural Right Theory)
Teori ini berakar dari teori
hukum alam, dengan tokoh-tokoh pemikir seperti John Locke. Menurut pandangan
ini, manusia secara alami memiliki hak atas dirinya sendiri dan, oleh karena
itu, atas hasil kerja (labor) mereka. Hak ini timbul karena adanya pengorbanan
upaya dalam menemukan, mengolah, dan menambahkan "kepribadian" ke
dalam sesuatu. Usaha manusia dalam mendayagunakan kerja otaknya untuk
menghasilkan ciptaan secara alami dan otomatis menjadi milik pencipta, yang
kemudian berhak untuk memanfaatkan karya tersebut secara ekonomi, sosial, dan
budaya. Teori ini menegaskan bahwa pihak lain memiliki kewajiban untuk
menghormati hak ini. Teori hak alamiah berpendapat bahwa hak cipta memunculkan
hak eksklusif terhadap hasil kerja pikiran.
Teori Karya (Labor Theory)
Teori Karya dianggap sebagai
kelanjutan dari Teori Hak Alamiah. Fokus utama teori ini adalah pada aspek
proses menghasilkan sesuatu dan produk yang dihasilkan itu sendiri. Proses
menciptakan karya atau invensi secara simultan menimbulkan kekuasaan (hak) atas
ciptaan tersebut. Oleh karena itu, hukum harus menjamin pencipta untuk
memperoleh manfaat ekonomi dari karyanya dan melindungi hak moralnya. Aspek
dari teori ini juga tercermin dalam "Reward Theory" dan
"Recovery Theory" yang menekankan bahwa setiap investasi waktu,
biaya, dan tenaga harus mendapatkan penghargaan/apresiasi dan dapat diperoleh
kembali.
Definisi "pencipta"
sebagai manusia dan "ciptaan" sebagai hasil dari "inspirasi,
kemampuan, pikiran, imajinasi, ketangkasan, keterampilan, atau keahlian" manusia
dalam UUHC secara langsung mencerminkan Teori Hak Alamiah dan Teori Karya.
Namun, AI tidak memiliki "kepribadian" atau "kerja" dalam
pengertian manusia. Hal ini menyiratkan bahwa UUHC yang ada sangat berakar pada
pemahaman filosofis tentang penciptaan yang secara fundamental mengecualikan
AI. Setiap upaya untuk memberikan hak cipta pada karya yang dihasilkan AI tanpa
mendefinisikan ulang "pencipta" atau "orisinalitas" akan
memerlukan pergeseran paradigma yang signifikan, berpotensi menjauh dari teori-teori
dasar ini menuju pendekatan yang lebih utilitarian atau sui generis.
Landasan filosofis hukum yang "berpusat pada manusia" saat ini adalah
penghalang hukum utama bagi hak cipta AI.
Teori Utilitarianisme
Teori ini berpandangan bahwa
perlindungan Hak Kekayaan Intelektual (KI) diberikan oleh pemerintah bukan
sebagai hak alamiah individu, melainkan untuk melayani kepentingan ekonomi
masyarakat yang lebih luas. Tujuan utama hukum, menurut utilitarianisme, adalah
untuk mencapai kesejahteraan dan kebahagiaan masyarakat secara keseluruhan.
Jeremy Bentham adalah salah satu tokoh sentral dari aliran ini, yang melihat
utilitas sebagai tujuan hukum atau sebagai metode untuk menguji produk hukum.
Dalam konteks hak cipta, teori ini berpendapat bahwa justifikasi perlindungan
dan penghargaan hak cipta sebagai hak kebendaan dalam kondisi dunia saat ini
tidak cukup hanya berdasarkan teori hukum alam. Teori utilitarianisme mendukung
gagasan bahwa dorongan atau imbalan atas ide dan kreativitas adalah untuk
kepentingan publik sebagai kontribusi terhadap pembangunan budaya nasional.
Meskipun Teori Hak Alamiah/Karya
mendominasi UUHC saat ini, fokus Utilitarianisme pada "melayani
kepentingan ekonomi anggota masyarakat secara luas" dan "kepentingan
publik" dapat memberikan perspektif yang berbeda. Kemampuan AI untuk
menghasilkan konten secara efisien dan dengan biaya rendah dapat dilihat
sebagai pelayanan kepentingan ekonomi masyarakat yang lebih luas atau
pengembangan budaya. Ini menunjukkan bahwa perspektif utilitarian dapat memberikan
justifikasi filosofis untuk reformasi hukum di masa depan yang memberikan
beberapa bentuk perlindungan atau penggunaan yang diatur untuk karya yang
dihasilkan AI, bahkan jika karya tersebut tidak memenuhi kriteria
"kepengarangan manusia" tradisional. Hukum mungkin bergeser dari
melindungi pencipta sebagai individu menjadi melindungi utilitas
atau nilai ekonomi karya bagi masyarakat, berpotensi melalui konsep
"work made for hire" atau skema lisensi kolektif. Ini akan menjadi
penyimpangan signifikan dari pendekatan individualistik yang berpusat pada
pencipta saat ini.
Teori Kepribadian (Personality Theory)
Meskipun tidak secara eksplisit
diuraikan sebagai "Personality Theory" dalam semua sumber, konsepnya
tercermin kuat dalam pembahasan Hak Moral. Hak moral berfungsi untuk melindungi
nama baik dan integritas ciptaan, serta menjaga hubungan emosional dan
intelektual pencipta dengan karyanya. Pencipta memiliki hak untuk memutuskan
bagaimana karyanya akan dipublikasikan dan untuk mencegah kerugian atau
perusakan karya intelektualnya. Hal ini sejalan dengan gagasan bahwa karya
cipta merupakan ekspresi dari kepribadian pencipta. John Locke juga
mengemukakan bahwa hasil pekerjaan seseorang adalah karena telah menambahkan
"kepribadian" ke dalam sesuatu.
Analisis Mendalam Kasus "Tung Tung Tung Sahur":
Ujian bagi Hukum Hak Cipta AI
Kasus "Tung Tung Tung
Sahur" yang melibatkan kreator AI Anomali, Noxa, dan pengembang game
Garena Free Fire, merupakan cerminan nyata dari kompleksitas hukum hak cipta di
era AI. Insiden ini menyoroti bagaimana inovasi teknologi dapat berbenturan
dengan kerangka hukum yang belum sepenuhnya adaptif.
Kronologi dan Klaim Kreator (Noxa) terhadap Garena Free Fire
Suara khas "Tung Tung Tung
Sahur" yang awalnya viral di platform TikTok, kemudian diintegrasikan ke
dalam game populer Free Fire sebagai bagian dari event Ramadan, dengan karakter
AI bernama Anomali. Penggunaan konten ini oleh Garena Free Fire tanpa izin atau
atribusi yang layak menjadi pemicu utama kontroversi.
Noxa, kreator yang mengembangkan
AI Anomali "Tung Tung Tung Sahur", secara terbuka menyampaikan
keluhannya melalui akun TikTok-nya. Ia menyatakan kekecewaannya karena upaya
komunikasinya dengan Garena Free Fire tidak mendapatkan respons. Hal ini
menimbulkan pertanyaan serius mengenai etika dan tanggung jawab perusahaan game
besar di Indonesia dalam menggunakan konten yang berpotensi memiliki hak cipta,
terutama yang dihasilkan dengan teknologi AI.
Kasus ini secara tajam menyoroti
kesenjangan komunikasi dan etika industri yang signifikan antara pengembang
teknologi AI (kreator AI seperti Noxa) dan entitas pengguna komersial (seperti
Garena). Keluhan utama Noxa adalah penggunaan tanpa izin dan ketiadaan respons
dari Garena, yang menunjukkan bahwa masalahnya melampaui sekadar interpretasi
hukum; ada kegagalan dalam praktik bisnis dan etika. Ketidakjelasan hukum yang
ada menciptakan ruang bagi praktik yang tidak etis ini, karena tidak ada
mekanisme yang jelas untuk mencegah atau menyelesaikan sengketa secara cepat.
Status Hukum Karya AI Anomali "Tung Tung Tung
Sahur"
Menurut Undang-Undang Hak Cipta
Indonesia, karya yang sepenuhnya dihasilkan oleh Artificial Intelligence (AI)
tidak dapat memperoleh perlindungan hak cipta. Hal ini disebabkan karena AI
tidak dianggap sebagai "pencipta" manusia atau badan hukum yang
memenuhi syarat dalam definisi UUHC. Dalam kasus karya seperti suara atau
animasi yang dihasilkan melalui AI atau dengan modifikasi berat berbasis
teknologi, status kepemilikannya menjadi sangat samar dan tidak jelas di mata
hukum. Hingga saat ini, hukum Indonesia belum secara eksplisit mengatur atau
memberikan kejelasan mengenai kepemilikan hak cipta atas karya yang dibuat
dengan bantuan kecerdasan buatan.
Kasus "Tung Tung Tung
Sahur" secara jelas memperlihatkan paradoks hukum yang ada saat ini:
sebuah karya yang memiliki nilai komersial tinggi dan mencapai viralitas luas
justru tidak memiliki status perlindungan hak cipta yang jelas karena
dihasilkan oleh AI. Kondisi ini menciptakan zona abu-abu hukum yang sangat
rentan dieksploitasi oleh pihak ketiga, di mana mereka dapat memanfaatkan karya
tersebut untuk keuntungan komersial tanpa konsekuensi hukum yang tegas atau
kewajiban untuk memberikan atribusi atau kompensasi kepada kreator asli atau pengembang
AI.
Perdebatan Mengenai Kepemilikan Hak Cipta atas Karya AI
Anomali
Kasus "Tung Tung Tung
Sahur" memicu perdebatan mendalam mengenai siapa yang seharusnya memiliki
hak cipta atas karya yang dihasilkan AI. Pertanyaan yang muncul adalah apakah
hak cipta sepenuhnya milik pemrogram AI, pengguna yang memberikan perintah atau
masukan, atau justru pencipta asli jika AI menggunakan data atau gaya yang
sudah ada.
Beberapa pandangan hukum
menyarankan bahwa hak cipta dapat dialokasikan kepada individu atau entitas
yang mengoperasikan atau mengembangkan AI, terutama jika mereka memberikan
kontribusi signifikan dalam proses kreatif. Pandangan ini mengacu pada konsep
bahwa AI berfungsi sebagai alat bantu, mirip dengan instrumen musik atau
perangkat lunak desain. Namun, hingga saat ini, posisi kepemilikan ini belum
sepenuhnya diatur secara jelas oleh undang-undang hak cipta yang ada di
Indonesia, menyisakan ambiguitas hukum yang signifikan.
Perdebatan mengenai kepemilikan
hak cipta atas karya AI mencerminkan ketegangan fundamental antara teori hak
cipta tradisional yang antroposentris dan realitas teknologis yang semakin
canggih. Karena AI tidak pas dengan definisi "pencipta" tradisional,
para ahli hukum terpaksa mencari "kait" hukum yang ada, seperti
konsep "Work Made for Hire". Solusi sementara seperti adopsi konsep
"Work Made for Hire" menunjukkan upaya untuk menjembatani kesenjangan
hukum antara AI dan kerangka hukum hak cipta yang ada. Namun, pendekatan ini
mungkin tidak cukup komprehensif untuk mengatasi semua skenario penciptaan AI
yang kompleks, terutama ketika AI beroperasi dengan tingkat otonomi yang
tinggi. Tanpa definisi hukum yang baru dan lebih adaptif, perdebatan ini akan
terus berlanjut dan menghambat perkembangan ekosistem kreatif yang melibatkan
AI.
Implikasi Pelanggaran Hak Moral dan Hak Ekonomi dalam Kasus
"Tung Tung Tung Sahur"
Meskipun informasi spesifik
mengenai kasus "Tung Tung Tung Sahur" tidak secara eksplisit merinci
pelanggaran hak moral atau ekonomi, kasus serupa, seperti lagu Nadin Amizah yang
di-remix tanpa izin, menunjukkan bahwa modifikasi tanpa persetujuan melanggar
hak moral maupun hak ekonomi pencipta.
Pelanggaran hak moral, seperti
distorsi atau mutilasi ciptaan, dapat secara serius merusak reputasi dan
integritas artistik dari pencipta asli. Hak moral melindungi hubungan personal
dan emosional pencipta dengan karyanya. Sementara itu, pelanggaran hak ekonomi
menyebabkan kerugian finansial yang signifikan bagi pencipta, termasuk
hilangnya potensi pendapatan dari royalti dan lisensi.
Meskipun kasus "Tung Tung
Tung Sahur" berfokus pada penggunaan tanpa izin, implikasi yang lebih
luas, seperti yang tergambar jelas pada kasus Nadin Amizah, adalah bahwa
komersialisasi karya yang dihasilkan atau dimodifikasi oleh AI tanpa atribusi yang
jelas atau izin dapat secara sistematis mengikis nilai hak moral dan hak
ekonomi pencipta manusia. Kemudahan AI dalam memanipulasi konten secara
langsung memungkinkan pelanggaran hak moral dan hak ekonomi. Hal ini
menciptakan preseden buruk yang berpotensi merugikan seluruh industri kreatif,
karena karya manusia dapat dengan mudah direplikasi, dimodifikasi, dan
dimonetisasi tanpa kompensasi atau pengakuan yang layak.
Tantangan Hukum Hak Cipta atas Karya AI di Indonesia: Sebuah
Krisis Regulasi
Perkembangan AI yang pesat telah
menimbulkan serangkaian tantangan signifikan bagi kerangka hukum hak cipta di
Indonesia. Tantangan ini berakar pada ketidakmampuan regulasi yang ada untuk
sepenuhnya mengakomodasi sifat dan kemampuan baru dari karya yang dihasilkan
oleh AI.
Ketiadaan Definisi Jelas "Pencipta" dan
"Orisinalitas" untuk AI
Undang-Undang Hak Cipta
Indonesia saat ini tidak secara eksplisit menyebutkan apakah program komputer
dapat diterima sebagai pencipta atau berhak mendapatkan perlindungan hak cipta
atas hasil karyanya. Definisi "pencipta" dan "ciptaan"
dalam UUHC masih sangat berpusat pada manusia dan proses intelektual manusia,
yang tidak secara langsung mengakomodasi karya yang dihasilkan oleh AI.
Kurangnya kejelasan dalam definisi ini menimbulkan perdebatan hukum yang
signifikan dan tantangan dalam menentukan kepemilikan hak cipta.
Ketiadaan definisi yang jelas
mengenai "pencipta" dan "orisinalitas" untuk AI menciptakan
kekosongan hukum yang signifikan. Kekosongan ini tidak hanya menghambat inovasi
yang bertanggung jawab dalam pengembangan AI karena ketidakpastian hak
kepemilikan, tetapi juga secara bersamaan membuka celah besar bagi eksploitasi
karya AI tanpa konsekuensi hukum yang jelas. Ini adalah dilema ganda: tanpa
perlindungan yang memadai, tidak ada insentif bagi investasi dan pengembangan
AI yang etis; namun dengan adanya celah, risiko pelanggaran hak cipta yang
meluas menjadi sangat tinggi. Akibatnya, pasar kreatif yang melibatkan AI
beroperasi dalam kondisi ketidakpastian hukum yang tinggi, yang dapat menghambat
pertumbuhan dan keadilan.
Dilema AI sebagai "Alat Bantu" vs.
"Pencipta"
Hukum hak cipta Indonesia saat
ini cenderung mengakui bahwa jika AI digunakan sebagai alat bantu oleh manusia,
di mana manusia mengendalikan proses kreatif atau memberikan arahan signifikan,
maka hak cipta atas karya tersebut dapat dimiliki oleh individu yang
menggunakan AI tersebut. Namun, jika karya diciptakan secara otomatis oleh AI
tanpa adanya campur tangan kreatif yang signifikan dari manusia, karya tersebut
tidak dilindungi oleh hak cipta di Indonesia.
Garis pemisah antara AI sebagai
"alat bantu" dan AI sebagai "pencipta" menjadi semakin
kabur seiring dengan kemampuan AI yang terus meningkat untuk menghasilkan karya
yang kompleks dan orisinal tanpa intervensi manusia yang jelas. Pergeseran
kemampuan AI dari sekadar "alat" menjadi "agen kreatif"
yang mampu menghasilkan karya dengan otonomi tinggi secara fundamental
menantang prinsip "human authorship" yang menjadi fondasi utama hak
cipta. Hal ini menimbulkan pertanyaan filosofis dan praktis yang kompleks
tentang sejauh mana "kontribusi signifikan manusia" harus ada agar
hak cipta tetap melekat pada manusia, menciptakan spektrum abu-abu yang sangat
sulit untuk diatur secara jelas dan konsisten.
Permasalahan Hak Cipta pada Dataset Pelatihan AI
Salah satu potensi pelanggaran
Kekayaan Intelektual (KI) yang harus diwaspadai adalah penggunaan dataset yang
berisi karya-karya cipta tanpa izin dalam proses pelatihan model AI generatif.
Direktur Penegakan Hukum DJKI, Arie Ardian, menekankan bahwa pengembang AI yang
menggunakan ribuan atau bahkan jutaan karya digital (teks, musik, gambar,
video) tanpa mempertimbangkan lisensi atau hak pencipta secara jelas melakukan
pelanggaran hak cipta, baik secara ekonomi maupun moral. Transformasi suatu
karya tanpa izin merupakan bentuk pelanggaran hak cipta yang diatur dalam undang-undang.
Isu hak cipta pada dataset
pelatihan AI merupakan akar masalah "upstream" yang seringkali
diabaikan dalam diskusi publik. Pelanggaran yang terjadi pada tahap pelatihan
ini memiliki efek domino karena menghasilkan karya AI yang secara inheren "terkontaminasi"
oleh pelanggaran hak cipta. Jika inputnya ilegal, outputnya berpotensi ilegal.
Karya-karya yang 'terkontaminasi' ini kemudian dapat dikomersialkan,
memperparah masalah pelanggaran hak cipta di tahap "downstream" dan
menciptakan kompleksitas hukum yang berlapis. Hal ini menunjukkan perlunya
regulasi yang tidak hanya berfokus pada output AI, tetapi juga pada proses
pelatihannya.
Kendala Penegakan Hukum di Era Digital dan Transnasional
Penegakan hukum hak cipta di
Indonesia masih menghadapi berbagai tantangan, termasuk rendahnya kesadaran
masyarakat mengenai pentingnya menghormati hak cipta, pengawasan konten digital
yang belum optimal, dan proses pelaporan pelanggaran yang seringkali lambat dan
kurang efektif. Kasus-kasus pelanggaran hak cipta yang melibatkan AI seringkali
bersifat kompleks karena sifatnya yang transnasional, sulit dilacak, dan
menantang dalam hal pembuktian kepengarangan serta orisinalitas. Metode
penegakan hukum konvensional yang ada saat ini dianggap tidak lagi memadai di
era AI; penegakan hukum harus bersifat digital, responsif, dan kolaboratif
antar berbagai pihak.
Tantangan penegakan hukum yang
ada menunjukkan kesenjangan kapasitas yang signifikan antara kecepatan
perkembangan teknologi AI dan kemampuan sistem hukum serta aparat penegak hukum
yang ada. Sifat transnasional dari banyak pelanggaran AI juga secara
fundamental menuntut kolaborasi internasional yang lebih kuat dan
terkoordinasi, menunjukkan bahwa masalah ini tidak dapat diselesaikan hanya
dengan pendekatan domestik. Kecepatan dan skala AI memperparah kelemahan
penegakan hukum yang sudah ada. Ini mengindikasikan perlunya pergeseran
paradigma dari penegakan hukum yang reaktif dan terfragmentasi menjadi
pendekatan yang lebih proaktif, berbasis teknologi, dan terkoordinasi secara
global. Tanpa peningkatan kapasitas yang signifikan dan kerangka kerja
kolaboratif internasional, hukum hak cipta akan terus tertinggal di belakang
perkembangan teknologi, menciptakan lingkungan yang tidak kondusif bagi kreator
dan inovasi.
Perbandingan Status Hak Cipta Karya AI: Indonesia vs.
Yurisdiksi Lain
Pendekatan hukum hak cipta
terhadap karya AI bervariasi di berbagai yurisdiksi, menunjukkan spektrum
penafsiran hukum yang dapat menjadi dasar pertimbangan kebijakan di Indonesia.
Di Indonesia, definisi
"pencipta" yang merujuk pada "seseorang atau beberapa
orang" (manusia atau badan hukum) secara eksplisit mengecualikan AI
sebagai pencipta. Karya yang sepenuhnya dihasilkan AI tanpa campur tangan
manusia yang signifikan tidak dilindungi hak cipta. Namun, jika AI digunakan
sebagai alat bantu dengan kontribusi signifikan manusia, hak cipta dapat
dimiliki oleh manusia.
Di Amerika Serikat (AS),
Kantor Hak Cipta AS (US Copyright Office) secara tegas menyatakan bahwa karya
yang dihasilkan sepenuhnya oleh mesin atau AI tidak memenuhi syarat
perlindungan hak cipta karena kurangnya kepengarangan manusia (human
authorship). Mereka membutuhkan sentuhan kreatif manusia agar suatu karya dapat
dilindungi hak cipta.
Berbeda dengan AS, Inggris
(UK) memiliki pendekatan yang sedikit lebih fleksibel. Undang-Undang Hak
Cipta, Desain, dan Paten (CDPA) 1988 di Inggris mengakui konsep "karya
yang dihasilkan komputer" (computer-generated works), di mana pencipta
dianggap sebagai orang yang membuat pengaturan yang diperlukan untuk pembuatan
karya tersebut. Ini berarti bahwa karya yang dihasilkan oleh komputer dapat
dilindungi hak cipta jika ada pencipta manusia yang terlibat dalam kapasitas
tertentu, meskipun karya tersebut dihasilkan oleh komputer.
Perbandingan ini menunjukkan
bahwa meskipun ada perbedaan, sebagian besar yurisdiksi utama masih bergulat
dengan isu yang sama: bagaimana menyeimbangkan inovasi AI dengan prinsip hak
cipta yang berpusat pada manusia. Pendekatan Inggris yang mengakui "karya
yang dihasilkan komputer" mungkin menawarkan model yang lebih adaptif bagi
Indonesia, yang dapat dipertimbangkan dalam reformasi hukum di masa depan.
Rekomendasi Kebijakan dan Reformasi Hukum: Menuju Ekosistem
Kreatif yang Adil
Melihat kompleksitas dan
tantangan yang ditimbulkan oleh perkembangan AI terhadap hak cipta di
Indonesia, diperlukan langkah-langkah strategis dan reformasi hukum yang
komprehensif. Rekomendasi ini bertujuan untuk menciptakan kerangka hukum yang
lebih adaptif, adil, dan responsif terhadap inovasi teknologi.
Redefinisi Konsep "Pencipta" dan
"Ciptaan" yang Adaptif terhadap AI
Diperlukan konseptualisasi ulang
dan redefinisi regulasi serta kerangka hukum terkait hak cipta untuk
mengakomodasi perkembangan teknologi AI yang pesat. Pemerintah perlu mendesain
ulang Undang-Undang Hak Cipta Indonesia agar mampu mengakomodasi secara
spesifik masalah hak cipta untuk karya yang dihasilkan AI, termasuk hak moral
dan hak ekonomi terkait karya AI, serta jangka waktu perlindungan yang sesuai.
Regulasi yang ada perlu disesuaikan agar lebih responsif terhadap perkembangan
teknologi, misalnya dengan mengatur secara eksplisit bagaimana hak cipta
diterapkan pada karya yang dihasilkan atau dimodifikasi oleh AI, termasuk
ketentuan tentang atribusi dan kompensasi.
Rekomendasi ini merupakan
pengakuan eksplisit bahwa kerangka hukum hak cipta yang ada saat ini sudah
usang dan tidak lagi memadai untuk menampung realitas penciptaan yang
melibatkan AI. Ini menyiratkan kebutuhan akan pergeseran paradigma dalam
pemikiran hukum, bergerak dari definisi yang kaku dan antroposentris ke
definisi yang lebih fleksibel dan inklusif yang dapat mengakomodasi peran AI
dalam proses kreatif. Tanpa perubahan ini, hukum akan terus tertinggal,
menyebabkan ketidakpastian dan konflik, dan menghambat fondasi bagi bagaimana
industri kreatif beroperasi di masa depan.
Pertimbangan Adopsi Konsep "Work Made for Hire"
Pemerintah perlu
mempertimbangkan untuk mengadopsi penggunaan konsep "work made for
hire" (karya yang dibuat untuk disewa) dalam Undang-Undang Hak Cipta
Indonesia. Konsep ini dapat mengimplikasikan bahwa hak cipta atas karya yang
dihasilkan AI dipegang oleh pemberi kerja atau pihak yang menugaskan pembuatan
karya (misalnya, pengembang atau operator sistem AI), yang dapat diterapkan
pada pencipta sistem AI sebagai pemilik hak cipta atas outputnya.
Adopsi konsep "Work Made
for Hire" adalah solusi pragmatis yang mencoba menjembatani kesenjangan
hukum antara AI dan kerangka hukum hak cipta yang ada. Karena AI tidak bisa
menjadi "pencipta" secara langsung, konsep ini menawarkan jalan untuk
mengalokasikan kepemilikan kepada manusia yang bertanggung jawab atas AI. Ini
merupakan upaya untuk memberikan kepastian hukum sementara dan insentif ekonomi
bagi pengembang AI, meskipun mungkin tidak sepenuhnya mengatasi isu
orisinalitas AI secara filosofis atau implikasi hak moral. Ini bisa menjadi
langkah awal yang cepat untuk mengatasi kekosongan hukum, meskipun mungkin
perlu dilengkapi dengan regulasi yang lebih spesifik di masa depan.
Penyusunan Regulasi Spesifik dan Pedoman Etika Penggunaan AI
Pemerintah Indonesia harus
membuat aturan yang lebih jelas dan tegas dalam mengatur perkembangan teknologi
AI yang sedang terjadi secara cepat dan luas di Indonesia. Kementerian
Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) telah mengeluarkan Surat Edaran
Menkominfo No. 9 Tahun 2023 tentang Panduan Etika Artificial Intelligence, yang
secara eksplisit menyatakan bahwa penyelenggaraan AI tunduk pada prinsip
perlindungan Hak Kekayaan Intelektual (HKI) sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pedoman ini menekankan tanggung jawab untuk memastikan AI tidak menjadi penentu
tunggal kebijakan dan/atau keputusan yang menyangkut kemanusiaan, mencegah
terjadinya rasisme, dan menghindari tindakan yang merugikan orang lain.
Kehadiran pedoman etika dari
Menkominfo menunjukkan pengakuan proaktif pemerintah terhadap urgensi masalah
AI dan HKI, bahkan sebelum undang-undang komprehensif terbentuk. Pengakuan
terhadap masalah ini mengarah pada tindakan awal berupa soft law
(pedoman etika). Ini adalah langkah awal menuju regulasi soft law yang
bertujuan untuk membentuk perilaku yang bertanggung jawab di tengah
ketidakpastian hukum yang lebih keras, sekaligus memberikan sinyal positif bagi
perkembangan AI yang etis di Indonesia. Ini menunjukkan strategi bertahap:
memulai dengan etika untuk membimbing perilaku sementara kerangka hukum yang
lebih keras sedang dikembangkan, menunjukkan pendekatan yang adaptif dan
responsif.
Peningkatan Kapasitas Penegakan Hukum dan Sistem Deteksi
Pelanggaran Berbasis AI
Peningkatan kapasitas Penyidik
Pegawai Negeri Sipil (PPNS) dan aparat penegak hukum lainnya dalam menangani
kasus-kasus pelanggaran hak cipta AI merupakan prioritas. Direktorat Jenderal
Kekayaan Intelektual (DJKI) saat ini sedang mengembangkan peta jalan strategis
untuk penegakan hukum KI berbasis teknologi, termasuk digitalisasi sistem
pelaporan dan pelacakan pelanggaran. DJKI bahkan sedang merancang penggunaan AI
untuk sistem pemantauan dan deteksi dini pelanggaran KI digital.
Pemerintah perlu meningkatkan
sinergi dan kolaborasi dengan platform digital besar (seperti TikTok,
Instagram, YouTube) untuk mempercepat dan menyederhanakan proses penanganan
pelanggaran hak cipta yang terjadi di platform mereka. Penerapan sistem
otomatis berbasis AI untuk mendeteksi konten yang melanggar dan menghapusnya
secara instan direkomendasikan sebagai langkah konkret untuk mengatasi volume
pelanggaran. Penggunaan AI untuk tujuan penegakan hukum KI adalah contoh
menarik dari AI sebagai solusi untuk masalah yang diciptakan oleh AI itu
sendiri. Ini menunjukkan siklus adaptasi teknologi-hukum yang berkelanjutan, di
mana inovasi teknologi memerlukan inovasi serupa dalam regulasi dan mekanisme
penegakan hukum.
Edukasi Publik dan Kolaborasi Lintas Sektor (Pemerintah,
Platform Digital, Kreator)
Rendahnya kesadaran masyarakat
mengenai pentingnya menghormati hak cipta merupakan salah satu masalah utama
dalam penegakan hukum di Indonesia; oleh karena itu, edukasi publik perlu
ditingkatkan melalui kampanye atau program kesadaran hukum yang masif.
Kolaborasi yang erat antara pemerintah, platform digital, dan kreator sangat
penting untuk menciptakan ekosistem yang adil dan berkelanjutan.
Pemerintah harus meningkatkan
sinergi dengan platform digital (TikTok, Instagram, YouTube) untuk mempercepat
dan menyederhanakan penanganan pelanggaran hak cipta. Langkah konkret mencakup
implementasi deteksi otomatis berbasis AI dan sistem penghapusan konten instan.
Sanksi yang lebih tegas, seperti denda dan pembatasan akun, juga diperlukan
untuk efek jera. Kolaborasi juga harus mencakup pengembangan fitur pelaporan
yang lebih responsif dan transparan bagi kreator, dengan waktu penanganan yang
lebih cepat.
Peningkatan kesadaran publik melalui
kampanye dan program edukasi hukum sangat krusial untuk menumbuhkan budaya
menghormati hak cipta. Ini akan membantu mengurangi pelanggaran yang terjadi
akibat ketidaktahuan atau pengabaian. Pendekatan holistik dan inovatif
diperlukan untuk menghadapi tantangan perlindungan hak cipta di era teknologi
yang terus berkembang. Tanpa revisi regulasi yang responsif dan upaya
kolaboratif, perlindungan preventif melalui pendaftaran hak cipta akan tetap
terbatas.
Kesimpulan: Menuju Masa Depan Hak Cipta yang Adaptif
Analisis mendalam terhadap hak
cipta di Indonesia dalam konteks karya yang dihasilkan oleh Kecerdasan Buatan
(AI) mengungkap adanya disonansi fundamental antara kerangka hukum yang berlaku
dan realitas teknologi yang berkembang pesat. Hukum hak cipta Indonesia, yang
berakar kuat pada teori hak alamiah dan teori karya, secara intrinsik berpusat
pada pencipta manusia, dengan definisi "pencipta" dan
"ciptaan" yang mensyaratkan keterlibatan intelektual dan kepribadian
manusia. Akibatnya, karya yang sepenuhnya dihasilkan oleh AI tidak diakui
sebagai karya asli yang dapat dilindungi hak cipta, meninggalkan kekosongan
hukum yang signifikan terkait kepengarangan dan kepemilikan.
Meskipun ada celah untuk
mengakui hak cipta manusia jika AI digunakan sebagai alat bantu dengan
intervensi signifikan, pendekatan ini bersifat sementara dan akan semakin sulit
diterapkan seiring AI menjadi lebih otonom. Tantangan praktis seperti
"masalah kotak hitam" dalam dataset pelatihan AI dan ketidakcukupan
prinsip "delik aduan" dalam menghadapi pelanggaran berskala besar
semakin memperumit penegakan hukum. Selain itu, kemampuan AI untuk memodifikasi
karya dengan mudah mengancam hak moral pencipta, yang secara tradisional
dianggap tidak dapat dicabut.
Untuk mengatasi tantangan ini,
pemerintah Indonesia perlu melakukan reformasi hukum yang komprehensif. Ini
mencakup redefinisi konsep "pencipta" dan "ciptaan" untuk
mengakomodasi berbagai tingkat keterlibatan AI, mungkin dengan mempertimbangkan
konsep seperti "work made for hire" atau skema lisensi kolektif.
Pendekatan utilitarianisme dapat menjadi justifikasi filosofis untuk reformasi
ini, menggeser fokus dari perlindungan pencipta individu semata ke manfaat yang
lebih luas bagi masyarakat. Selain itu, diperlukan investasi dalam solusi teknologi
proaktif untuk deteksi pelanggaran dan penegakan hukum yang lebih tegas. Yang
terpenting, kolaborasi multi-pihak antara pemerintah, platform digital, dan
masyarakat, didukung oleh edukasi yang berkelanjutan, akan krusial untuk
menyeimbangkan insentif inovasi AI dengan perlindungan yang adil bagi pencipta
manusia, memastikan keberlanjutan industri kreatif di era digital.

Posting Komentar untuk "Hak Cipta AI di Indonesia: Studi Kasus 'Tung Tung Tung Sahur' dan Urgensi Reformasi Hukum"